Namun langkah yang dilakukan media tersebut kalah cepat dibandingkan perkembangan teknologi komunikasi, invasi raksasa platform global, perubahan perilaku masyarakat dan gejolak situasi bisnis. Ditambah adanya kekosongan regulasi ruang digital dan transisi pemerintahan baru, yang ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kebijakan Presiden Prabowo yang menggaungkan efisiensi sejak awal ditambah situasi keuangan negara yang belum pulih menambah penderitaan bagi media massa.
 |
Sumber foto: Unsplash |
Sesulit Apa Media Massa?
Melihat maraknya pemberitaan PHK di media dan beberapa media yang tutup, salah satu rekan corporate secretary di BUMN bertanya, “sesulit apa media?”
Jawabannya, sesulit mengambil slilit. Media memang pernah mengalami masa sulit, seperti waktu kerajaan covid menyerang. Namun saat itu, media masih bisa bernafas dengan adanya stimulus berupa dana sosialisasi untuk menekan penyebaran virus covid pada saat itu. Sayangnya saat ini masa sulit itu terasa lebih berat. Media masih bisa bernafas namun agak sesak, seperti ada beban berat yang menindih. Belum selesai satu masalah muncul masalah baru. Apalagi untuk media yang hanya mengandalkan pendapatan dari jualan konten saja, ini sangat berat.
Beberapa media yang memiliki diversifikasi bisnis mungkin masih bisa bernafas meski terbatas. Media yang memiliki divisi riset misalnya, masih ada pendapatan lain. Begitula yang memiliki bisnis EO atau pelatihan dan konsultan media/PR. Namun sampai kapan? Jumlah SDM di media cukup banyak apalagi pada era digital sekrang. Semakin media masuk ke dalam palung digital makin besar biaya maintenance, makin banyak kebutuhan SDM dengan harga selangit.
Harus diakui untuk media besar yang sebelumnya berjaya dengan konsep lama, memang situasinya jauh lebih berat. Dengan peralatan studio yang lengkap, mewah dan ruangan besar mengharuskan perawatan yang mahal pula. Untuk tagihan listrik saja bisa mencapai ratusan juta. Belum lagi jumlah SDM yang memang besar untuk kebutuhan saat itu.
Sementara di era digital saat ini, berbagai kemudahan teknologi mengharuskan sebuah produksi bisa dilakukan dengan jumlah SDM yang ramping dan peralatan sederhana yang murah atau terjangkau. Sementara hasilnya relatif sama, kualitas bersaing bahkan ditonton lebih banyak orang dan viral.
Ruang Digital, Kosong Regulasi
Banyak kalangan menilai kematian media arus utama adalah sebuah keniscayaan dari kemajuan zaman. Mereka menuding media kolaps karena orangnya kolot, sulit berubah, pikirannya usang, memorabilia masa lalu dan hujatan lainnya. Benar? Tidak juga. Variabelnya banyak.
Mereka yang melihat media dari luaran saja akan menilai media arus utama tidak efisien dan masih berkutat pada konsep lama yang sudah ditinggalkan. Padahal banyak sekali langkah yang dilakukan media untuk bisa bersaing dan bertahan di tengah kemajuan teknologi saat ini. Namun perubahan media massa tidak bisa sebebas dengan media sosial yang dimiliki akun-akun tokoh, artis dan lainnya.
Media massa khususnya media pers punya ikatan yang kuat dengan tanggung jawab sosial dan moral. Sehingga semua produk yang keluar di media mutlak memiliki kualitas, fakta dan terverifikasi. Aturan main untuk media sangat jelas, UU Pers, UU Penyiaran, P3SPS, Kode Etik Jurnalistik dan sejumlah pedoman peliputan seperti pedoman media siber, anak, perempuan dan kelompok rentan. Termasuk lembaga, badan atau komisi yang mengawasi media pers, mulai dari KPI Pusat, KPI Daerah dan Dewan Pers.
Media massa tidak mungkin menyerahkan penilaian hanya kepada publik karena media massa punya nilai etis yang harus dijaga. Sementara media sosial yang bisa dimiliki siapa saja, bisa memproduksi konten apa saja dan dari mana saja tanpa ada aturan apapun.
Sehingga wajar banyak akun media sosial bertebaran dengan isi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan namun tetap bertahan sekian tahun bahkan mendapat iklan dari platform, mendapat plakat bintang padahal materinya mengambil dari mana saja, comot video dari sana-sini, dikasih narasi, tayang dan ditonton ribuan bahkan jutaan.
Terjadi kekosongan regulasi di ruang digital yang cukup lama di Indonesia saat ini. Konten-konten media sosial dibiarkan liar, konten positif, negatif, fakta atau hokas semua dinilai sama dan mendapat apresiasi. Sehingga publik pun bingung tentang kebenaran sebuah informasi.
Herannya tidak ada satu aturan pun keinginan untuk mengatur soal media sosial yang sudah mendominasi terlalu dalam ruang digital kita. Dampak-dampak yang ditimbulkan bukan hanya kepada media massa nasional tapi juga sampai ke ruang publik dan ruang tidur anak-anak kita.
Sementara di beberapa negara termasuk Uni Eropa yang dianggap berpaham liberal saja, sudah memiliki kebijakan terkait pembatasan media yang bertujuan untuk mengatasi penyebaran konten ilegal, disinformasi, dan melindungi data pribadi, terutama anak-anak. Kebijakan ini mencakup Digital Services Act (DSA) yang membahas konten ilegal dan disinformasi, serta aturan terkait iklan yang dipersonalisasi dan data pribadi anak.
DSA adalah Peraturan ini mewajibkan platform online untuk lebih bertanggung jawab atas konten yang mereka distribusikan. DSA menetapkan serangkaian aturan dan prinsip mendasar mengenai cara platform digital perantara berpartisipasi dalam publikasi dan distribusi konten online. Peraturan itu berfokus pada hosting konten dan platform berbagi seperti Facebook, TikTok, Twitter, atau YouTube.
Peran Negara
Tentu kita tidak mengadopsi mentah-mentah aturan di Uni Eropa namun pembatasan platform media sosial yang membagikan konten perlu dibuat karena media sosial yang dimiliki publik tersebut juga memperoleh keuntungan finansial secara langsung melalui iklan yang ada di video maupun iklan tidak langsung dari pemiliki media berbagi tersebut.
Dengan situasi seperti ini, yang satu diatur secara ketat dan diawasi sementara yang satunya bebas aturan tanpa pengawasan maka yang terjadi ketimpangan dan ketidakadilan hukum dan ekonomi. Bermain di ceruk yang sama namun dengan peraturan yang berbeda.
Dibutuhkan peran negara melihat situasi media nasional saat ini. Media punya sejarah yang panjang dalam berdirinya negeri ini dan menjaga demokrasi di tanah air. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi karena memiliki ruang partisipasi publik yang bermartabat dan terlembaga. Bukan sekadar bersuara lantang yang sulit dipertanggungjawabkan.
Saat ini ekosistem digital di Indonesia memang seperti benang kusut. Mengurai dari bagian yang mana dahulu untuk mengatasi kekusutan itu saja, sudah cukup rumit. Belum lagi dengan perkembangan AI yang sudah makin tidak karuan, di mana yang benar dan yang tidak, yang asli dan yang palsu makin sulit untuk dibedakan. Hanya media pers arus utama yang bisa jadi rujukan kesahihan informasi di tengah limbah informasi yang sulit dibersihkan. Tinggal pemerintah mau atau tidak, menghidupkan kembali demokrasi dengan media massa yang sehat atau justru membiarkan media arus utama mati dalam kesurian…
Ditulis oleh: Gaib Maruto Sigit (Wartawan)