Radio saat ini memasuki masa-masa krusial. Kemajuan teknologi, perubahan perilaku audiens dan kondisi pasar yang makin absurd menuntut stasiun radio melakukan perubahan menyeluruh, melakukan inovasi dan menentukan visi baru tentang media bernama radio.
Sebenarnya sebelum euforia digital, industri radio juga sedang tidak baik-baik saja. Kondisi makin berat saat pasukan covid menyerang. Disrupsi digital yang datang tak diundang menambah beban berat bagi radio. Apalagi untuk teman-teman radio di daerah yang sejak lama sulit kini makin terasa amat berat.
Meskipun sebenarnya radio memiliki kedekatan lebih intim dengan teknologi digital dibanding media cetak namun pendekatan digital tidak selalu sama dengan kebiasaan orang-orang radio dalam bekerja. Mulai dari mind set, sumber daya manusia yang melek digital, pengetahuan, peralatan dan semua pernak-pernik digital termasuk mengemas serta memasarkannya.
Orang radio yang biasanya berkutat pada soal segmentasi, tagline, prime time pagi sore, kocokan lagu, durasi kini harus menghadapi sebuah disrupsi yang mengubah banyak hal secara fundamental.
Orang-orang yang ada di industri radio, memiliki dua PR besar, yakni menjadikan radio masih relevan dalam situasi saat ini dan meyakinkan pengiklan bahwa radio memberi dampak pada brand mereka.
Covid-19 dan Kekuatan Radio
Covid 19 yang datang waktu itu sebenarnya menjadi pembuktian kesaktian radio. Di saat krisis, radio tetap hadir mengudara, dimanapun dan kapanpun. Radio menjadi ujung tombak sosialisasi dan kampanye tentang covid dan pencegahannya di seluruh Indonesia. Bahkan menurut PRSSNI, jumlah pendengar radio justru naik signifikan pada saat covid. Pengikut medsos pun melonjak signifikan.
Bukan hanya itu Covid-19 membuat stasiun radio cepat adaptasi dan bertransformasi menjadi media audio dengan pendekatan digital. Konten on air didukung dengan konten di media sosial dan portal. Bersiaran dengan menggunakan zoom, talkshow dengan berbagai narasumber mancanegara secara daring.
Sejumlah pengiklan dari kementerian, lembaga dan korporasi mempercayakan sosialisasi kebijakan dan promosi produknya di radio dan media sosial radio. Sehingga radio pada saat covid khususnya di kota-kota besar relatif berkinerja positif.
Peran radio dalam menyukseskan program pemerintah selama covid, seperti vaksin dan gaya hidup sehat harusnya menjadi momentum bagi industri radio untuk bangkit. Dengan terus memainkan isu-isu publik dan menjadi teman bagi pendengar dalam mendapat informasi penting, to be used dan berguna. Namun sayangnya momentum itu tidak maksimal dimanfaatkan padahal kepercayaan publik terhadap media mainstream khususnya radio sedang tinggi di tengah maraknya hoaks di media sosial.
Bukan Sekadar Digital
Apa yang bisa dilakukan radio di era disrupsi saat ini? Berselancarlah di atas ombak digital. Menolak perubahan dan teknologi tidak mungkin, membiarkannya pun sebuah kesalahan. Jadi harus dihadapi layaknya seorang peselancar, tetap berusaha berdiri, kalau jatuh, bangun lagi, tenggelam, muncul lagi sampai pada satu titik keseimbangan baru.
Berselancar di atas ombak dan gemuruh badai bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi ombak digital yang bisa berubah dengan cepat. Karena mengurus radio bukan hanya soal menjadi digital banyak ornamen dan pernak-pernik yang harus diurus. Alih-alih fokus digital hingga lupa dengan basis tradisional radio, yakni pendengar setia.
Kepengin digital juga bukan sekadar digital. Harus ada goal yg jelas, rencana yang matang hingga, konten yang sustain dan pastinya cara memasarkan dan menjualnya. Bukan sekadar bikin akun, apps, ada podcast, hadir di youtube, tik tok dan sejenisnya. Karena kalau hanya sekadar bikin, biar terlihat moderen tanpa memahami esensi dari konten digital dan dalam prosesnya tidak melibatkan banyak pihak, mulai dari marcom, sales, GA, teknik, dan keuangan maka bisa dipastikan akan gagal.
Karena digital itu mahal, cost center sehingga harus ada daya tahan keuangan perusahaan. Apalagi jika infrastruktur dan kontennya sudah digital tapi cara jualannya masih konvensional. Sehingga diperlukan pemahaman berjamaah tentang digital dari mulai pimpinan jajaran direksi, GM, Manager, Staf di semua unit agar bisa bergerak cepat, simultan dan akur.
Interaksi adalah Koentji
Masuk ke dalam ruang digital adalah keniscayaan untuk industri radio karena digitalisasi akan mempercepat perusahaan bertumbuh, baik pendengar maupun revenue. Sumber pendapatan yang tadinya hanya dari spot, adlibs, event kini bisa didapat dari traffic media sosial yang dimiliki. Aset digital jika diurus serius akan mendatangkan cuan signifikan karena bisa dimodifikasi dalam berbagai bentuk.
Namun masuk ke digital bukan berarti melupakan urat nadi dari radio, yakni interaktif. Banyak radio meninggalkan interaksi karena fokus pada konten dan lagu. Padahal satu-satunya keunggulan radio yang tidak dimiliki media lainnya termasuk medsos adalah interaksi antara penyiar dan audiens.
Interaktif di radio menjadi penting di tengah sebaran hoaks yang makin meluas dan komentar medsos yang negtif, penuh kebencian. Radio interaktif memungkinkan pendengar untuk bertanya dan berkomentar tentang suatu hal, informasi atau hal-hal lainnya tentang kegundahan hati dan ketidaksetujuan terhadap satu kebijakan.
Begitu juga yang berinteraksi di media sosial, seperti WA atau saluran komunikasi lain dari siaran yang kita lakukan karena mereka adalah pendengar setia yang harus dijaga dan dirawat karena mereka aset penting buat radio.
Interaksi penyiar dan audiens tidak bisa digantikan dengan mesin, AI dan lainnya. Interaktif radio itu orisinil, ditanya dengan hati, dijawab dengan perasaan. Jika pendengar sudah puas dan mendapat segalanya termasuk bisa menentukan sikap dari media kita maka dia tidak akan pernah mencari ke hati yang lain.
Orang radio, siap berselancar?
Gaib Maruto Sigit (Pemimpin Redaksi MNC Radio Network)
No comments:
Post a Comment