Apa tanggapan Bapak dan Ibu dosen ketika melihat banyak konten di media sosial yang menyarankan mahasiswa menggunakan artificial intelligence untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah?
Untuk kondisi dan tujuan tertentu, penggunaan AI memang lebih efisien tetapi tentu saja tidak bisa diaplikasikan untuk semua hal. Tentu mengkhawatirkan ketika mahasiswa diajak serba instan untuk mengerjakan sesuatu. Lambat laun, daya kritis dan daya pikirnya semakin menurun. Lalu bagaimana sebagai pendidik, menyikapi hal ini?
Pada 19-21 Agustus 2024, saya berkesempatan Eduvate 2024, yang diselenggarakan Monash University Indonesia. Selama 3 hari (2 hari daring dan 1 hari tatap muka) kami diajak berdiskusi dengan para pakar di bidang pendidikan dan melihat metode pengajaran dari dosen lain. Meskipun beberapa kali mengikuti kegiatan serupa, tapi selalu ada cerita, insight baru yang saya temukan ketika bertemu para pakar di bidang pendidikan dan rekan-rekan dosen lain.
Tracey Harjatanaya, Rektor Universitas Satya Terra Bhinneka berpendapat bahwa paradigma dalam dunia pendidikan harus berubah. Tujuan pendidikan tidak lagi bicara soal pertumbuhan dari sisi ekonomi tapi bagaimana mahasiswa dapat mengembangkan dirinya. Kesuksesan tidak lagi dilihat dari sisi ekonomi tapi bagaimana mereka mampu berpartisipasi di lingkungan sosial. Kurikulum tidak hanya berfokus pada pemenuhan kebutuhan pasar tapi juga pada etika, kemampuan seseorang dalam memaknai kehidupan. Pendidikan harus mampu memberdayakan seseorang untuk memilih dan mengontrol hidup mereka sendiri. Memungkinkan mereka untuk meraih tujuan yang mereka harapkan dan hargai.
Fajar Hidayat, Head of Leadership Excellence, Daya Dimensi Indonesia mengungkapkan bahwa universitas seharusnya memiliki support system terbaik dan menyiapkan mahasiswanya (yang merupakan Gen Z) untuk berkembang.
Dari perspektif industri, Muhammad Yasir, Head of People dari Brick melihat pentingnya kurikulum di universitas harus didesain untuk berfokus pada masa depan, yaitu: (1) pemahaman terhadap teknologi (technology-driven environment), (2) mendukung mahasiswa untuk mampu menganalisis, mengevaluasi, dan memecahkan masalah melalui project-based learning dan kegiatan kolaboratif, (3) mendukung mahasiswa untuk mengembangkan pemikiran yang mampu beradaptasi, dan tangguh dalam melihat perkembangan di industri, (4) kerjasama dengan industri.
Penggunaan AI di Universitas
Berkaitan dengan penggunaan AI oleh mahasiswa, sepakat dengan pendapat dari Rektor Universitas Kristen Maranatha, Oscar Karnalim, tentang pentingnya regulasi di tingkat universitas. Hal ini dikarenakan setiap prodi pasti memiliki kebutuhannya masing-masing.
Saya ambil contoh di prodi ilmu komunikasi. Untuk mata kuliah copywriting, misalnya, penggunaan chat GPT untuk membuat radio script tentu tidak diperbolehkan. Mahasiswa harus mempelajari dasar-dasar copywriting; memahami bahwa tiap target audience perlu didekati dengan cara berbicara yang berbeda. Atau di mata kuliah desain. Sekalipun mahasiswa menggunakan Canva tapi harus memperlihatkan proses membuat desain dari awal. Bukan menggunakan template bawaan dari Canva.
Jika mahasiswa terus menerus dimanjakan, lalu bagaimana mereka dapat berpikir kritis, menggunakan akal pikirannya untuk menelaah sebuah masalah?
Hal ini juga yang menjadi perhatian dari Itje Chodidjah, Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO. Menurutnya, dosen harus memahami pedagogi. Apapun teknologi yang digunakan di kampus, pikiran dan perasaan mereka harus dikembangkan.
“Don’t overuse the technology, always contextualize it, and remember, our instrument in the human body remains the same.” (Aprilina Prastari)
No comments:
Post a Comment