Setelah sempat mundur dari jadwal seharusnya, akhirnya pemenang “Sayembara Naskah Kajian Literasi Terapan Berbasis Konten Lokal (SNKLTBN) yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI, diumumkan pada 18 September 2023. Alhamdulillah, naskah yang saya tulis berjudul “Jejak Silat Betawi di Pinggir Kota Bekasi” terpilih sebagai salah satu pemenang.
Sempat Ingin Mundur
Awalnya, saya mengetahui informasi lomba ini dari grup anggota andal Forum Lingkar Pena. Membaca judul lombanya, sebetulnya, saya masih meraba-raba, seperti apakah naskah lomba yang diharapkan dari lomba ini. Sempat membaca salah satu naskah pemenang tahun lalu dan mencoba mencari formula sendiri.
Kalau dilihat dari judul lomba dan persyaratannya, saya menilai bahwa naskah yang diharapkan tentunya harus mengandung unsur lokalitas yang kuat. Meski tidak mengharuskan mengangkat cerita dari daerah penulis berasal atau tinggal, saya merasa lebih familiar untuk cerita yang mengangkat tentang Bekasi atau Jakarta. Tapi apa ya? Makanan, sudah terlalu banyak. Kesenian? Hmmm… saya masih belum sreg. Meskipun saya paham bahwa topik yang sama atau sudah terlalu umum bisa menjadi unik jika penulis mengangkat dari angle yang berbeda.
Setelah coret-coret, diskusi dengan suami, saya akhirnya memutuskan untuk mengangkat silat di Bekasi. Tapi dari angle apa?
Langkah pertama yang saya lakukan adalah riset dari beberapa sumber referensi tentang silat. Menarik tapi saya belum mendapat gambaran utuh mengenai sejarah silat di Bekasi. Saya lalu berkomunikasi dengan Aki Maja untuk menanyakan nara sumber yang mengerti tentang sejarah Bekasi. Oleh beliau saya diberi dua nama namun Bang Endra Kusnawan, pegiat sejarah Bekasi, yang merespon dengan baik. Setelah mengatur jadwal temu, Sabtu sore saya mengunjunginya di Gedung Juang, Bekasi.
Berbincang dengan Bang Endra membuat saya ragu-ragu untuk melanjutkan.
“Sepertinya perlu waktu lama untuk menggali sejarahnya, ya. Kalau saya sampai salah tulis, bisa menyesatkan nih,” ujar saya pada suami.
Sepulang bertemu Bang Endra, saya sempat mau menunda menyelesaikan naskah. Saya lihat kalender. Kurang dari 3 minggu lagi tenggatnya dan saya baru mengumpulkan bahan. Itu juga masih jauh dari lengkap. Saya cek pekerjaan lain yang saat itu masih agak longgar. Pekerjaan berikutnya masih dimulai pertengahan Agustus. Kampus juga masih libur mengajar. Jadi harusnya sih, kalau dipaksakan in syaa Allah bisa.
Ganti Outline
Setelah melihat outline yang sebelumnya sudah buat, memang memerlukan waktu yang lebih lama karena banyak menggali sejarah silat, jawara Bekasi. Ada juga beberapa informasi yang cukup sensitif untuk diangkat dan bukan kapasitas saya untuk menceritakan hal tersebut.
Melihat beberapa kondisi, akhirnya saya mengganti outline dan fokus pada beberapa perguruan silat yang boleh dikatakan tradisional yang masih ada di sekitar Pondok Gede, Bekasi, dan sekitarnya.
Beberapa informasi perguruan silat saya dapatkan dari Pak Rahmat Malik, Ketua IPSI Bekasi. Beberapa perguruan silat tersebut adalah Garuda Paksi, Pendekar Sumur Tujuh dan Sanggar Maen Pukulan “Ji-Ung”. Semuanya di pinggir kota Bekasi.
Dari beberapa wawancara tersebut, banyak hal menarik yang saya dapatkan. Bukan hanya sejarah Pondok Gede dan Jatimakmur, tempat kami tinggal tapi bagaimana kondisi Bekasi saat-saat awal kemerdekaan.
Perjuangan Melestarikan Beladiri Silat
Di tengah bela diri dari luar negeri, apalagi dengan keseruan media sosial, keberadaan perguruan silat ini haruslah diapresiasi. Mereka berusaha untuk memberikan aktivitas bermanfaat untuk anak-anak muda meskipun jumlah anggota yang tidak banyak. Jangan berpikir bahwa perguruan silat ini memiliki tempat khusus untuk berlatih. Mereka menggunakan tempat seadanya. Namun dari situlah semangat itu mereka tempa. Sesuai filosofi dari silat.
Cerita Mardani dari PS Pendekar Sumur Tujuh, ada anak-anak yang dikenal bandel jadi berubah baik setelah belajar silat.
Pastinya, tidak hanya melestarikan budaya, masuk perguruan silat juga akan membangun rasa cinta pada budaya.
“Saya memilih untuk membangun sanggar silat karena saya ingin meneruskan apa yang diajarkan orang-orang tua dulu, saya cinta budaya betawi dan saya ingin anak-anak muda mengenal dirinya lewat budaya kearifan lokalnya sendiri,” tegas Farid, pendiri Sanggar Maen Pukulan “Ji-Ung”.
(Aprilina Prastari)
No comments:
Post a Comment