Bagi penulis nonfiksi, mewawancarai narasumber biasanya menjadi kegiatan yang harus dilakukan. Selain dari buku, media cetak dan internet, mendapat informasi langsung dari narasumber yang kompeten bisa meningkatkan kepercayaan pembaca terhadap apa yang kita tulis. Masalahnya, tidak semua narasumber bisa dengan gamblang memberikan informasi yang kita butuhkan. Ada narasumber yang menjawab sepotong-sepotong, meskipun ada juga narasumber yang tanpa perlu ditanya sudah menjelaskan dengan panjang lebar. Untuk itu diperlukan kemampuan pewawancara untuk dapat menggali dan membuat pertanyaan yang memungkinkan nara sumber untuk menjawab dengan rinci.
Menghadapi Narasumber
Jika kita bertemu dengan narasumber yang terbuka, ramah dan senang berbicara, bersyukurlah. Kondisi tersebut memudahkan kita sebagai pewawancara untuk menggali banyak informasi darinya. Namun hati-hati. Keasyikan mengobrol bisa membuat wawancara kita terlalu lebar dan tidak fokus pada inti pertanyaan. Jika narasumber sudah melenceng dari pertanyaan, segera kembalikan lagi ke “jalurnya”.
Sebaliknya, kalau kita bertemu dengan nara sumber yang kaku, apalagi jika baru pertama kali bertemu, dan mengalami kesulitan dalam mengungkapkan sesuatu, bersyukur juga. Kondisi itu akan mengajarkan kita untuk pandai menggali pertanyaan. Jika bertemu dengan narasumber tipe ini, buatlah kondisi yang nyaman dan santai. Jangan langsung bertanya serius,tapi mulailah dengan pertanyaan-pertanyaan yang santai. Misalnya, kalau kita mewawancarai narasumber di ruang kerjanya yang penuh lukisan, kita bisa memulai percakapan dari lukisan. Orang biasanya senang kalau ada orang lain yang memiliki ketertarikan yang sama. Tapi, basa-basinya jangan terlalu lama, ya. Bisa nggak mulai-mulai nanti wawancaranya, hehehe. Jika narasumber sudah terlihat nyaman, barulah masuk ke pertanyaan inti.
Menyiapkan Pertanyaan
Agar tidak lupa dan semua hal yang kita ingin tanyakan tidak ada yang terlewat, buatlah daftar pertanyaan sebelum kita mewawancarai nara sumber. Sesuaikan pertanyaan dengan tulisan yang ingin kita tulis. Makanya, sebelum kita mewawancarai narasumber, kita sudah mendesain, bagaimana alur tulisan yang ingin kita tulis. Misalnya, kita ingin menulis tentang bagaimana menyiasati anak yang susah makan. Nah, desain tulisan kita kira-kira seperti ini:
- Pengantar ada fase anak susah makan
- Alasan kenapa anak susah makan dan bagaimana mengatasinya
- Menyiasati anak susah makan
- Makanan atau menu untuk anak susah makan
Nah, kalau kita sudah mendapatkan alur tulisan yang pas, barulah kita membuat daftar pertanyaan. Buatlah pertanyaan yang memungkinkan nara sumber untuk menjawab panjang. Jadi, mulailah dengan “mengapa” atau “bagaimana”.
Menggali Pertanyaan
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tidak semua narasumber bisa mengungkapkan jawaban dengan mudah. Kita, sebagai pewawancara, yang harus pandai menggalinya. Gali dari satu pertanyaan. Jangan mudah beralih ke pertanyaan berikutnya kalau narasumber belum menjawab pertanyaan pertama dengan jelas.
Sebaiknya, saat wawancara, kita juga sudah membekali diri dengan apa yang ingin kita tanyakan. Misalnya, sebelum bertanya kepada dokter tentang anak susah makan, kita sudah punya sedikit informasi tentang anak susah makan sehingga wawancara bisa lebih cair. Misalnya, “ Dok, saya baca di buku X, anak yang pilih-pilih makanan, juga termasuk susah makan, ya, Dok. Apa ya Dok, penyebab anak suka pilih-pilih makanan?”
Kira-kira begitu deh tip mewawancarai narasumber. Kalau wawancaranya elalui email, pertanyaan yang disampaikan sudah harus benar-benar rinci karena kita tidak memiliki kesempatan untuk langsung merespon jawaban yang diberikan. Wawancara via email memang memiliki kekurangan dibandingkan secara langsung. Tapi, untuk nara sumber yang sangat sibuk, biasanya ada yang ingin dilakukan via email.
Tip di atas dilakukan untuk nara sumber yang pernyataannya perlu dimasukkan ke dalam artikel kita. Kalau wawancara untuk menggali profil seseorang, tipnya beda lagi. Mau tahu? Tulis di kolom komentar ya.
No comments:
Post a Comment