Di sebuah grup WA, seorang ibu
mengungkapkan keprihatinnya.
“Tadi saya melihat beberapa
remaja perempuan sedang adu mulut. Bahasanya kasar sekali. Sebagai ibu, saya
prihatin. Saya dekati, coba melerai. Eh, malah saya yang dimarahi. Bahkan dia
memberikan jari tengahnya untuk saya sebelum pergi. Astaghfirulloh.”
Kondisi ini tentu membuat kita
berpikir. “Apa yang membuatmu begitu kasar, Nak?”
Ayah-Bunda,
Tak sedikit orangtua yang
mengeluhkan anak-anaknya yang tidak ramah, sering membantah, membentak dan
berbicara kasar pada mereka. Tak hanya di rumah, di luar pun, mereka
menunjukkan ketidakramahan pada orang lain. Meskipun boleh jadi, mereka terlihat
sangar dari luar, tapi tidak sedikit yang rapuh jiwanya. Mereka sulit menerima
kegagalan, nasihat kebaikan dianggap sampah dan kerap diliputi kecemasan.
Apa penyebabnya?
Sebuah studi menjelaskan, anak
yang memiliki hubungan baik dan lekat dengan orangtuanya, akan tumbuh menjadi
anak yang memiliki empati dan menyenangkan (Sears, 2006). Menjadikan anak
sebagai sosok yang memiliki empati dan kasih sayang tentu tidak dapat dilakukan
dalam sekejap.
Ada perjalanan yang perlu dilalui sejak mereka masih berada di
dalam rahim sang ibu. Seberapa sering orangtua mendekap, mengelus, menggendong
ketika mereka bayi. Seberapa sering orangtua membiarkan anak berekspresi,
mengajaknya bicara, membacakan cerita, bermain bersama. Seberapa sering
orangtua mendengarkan anak ketika mereka memiliki segudang pertanyaan dan
cerita yang ingin disampaikan.
Ketidaklekatan orangtua-anak juga
kerap kali ditunjang dengan sikap orangtua yang memarahi melebihi batas
sehingga anak menyimpan luka batin dalam hatinya. Mereka sulit untuk
mengungkapkan karena orangtua yang seharusnya menjadi tempat mereka bercerita
tidak memberikan kesempatan itu. Atau sebaliknya, membolehkan apa saja yang
diinginkan anak tanpa adanya aturan mana yang boleh dan tidak. Orangtua seolah
kehilangan kendali terhadap anak-anak mereka. Hubungan orangtua dan anak
semakin berjarak, semakin tidak bertemu. Orangtua merasa anaknya membangkang.
Anak merasa orangtuanya mengekang. Padahal, kunci kesuksesan komunikasi antara
orangtua dan anak adalah kelekatan dan kasih sayang.
Ironisnya, ketika mereka tidak
mendapatkan perhatian di dalam rumah, mereka mencari keluar. Mereka mencari teman-teman
yang satu frekuensi. Ketika bertemu dan bergaul dengan teman-teman yang
memiliki kondisi yang sama, mereka menikmatinya. Maka jangan heran, jika ada anak
perempuan usia SD yang senang keluar malam dan berkumpul dengan teman-temannya.
Jika ini terjadi, maka lingkungan yang akhirnya membentuk mereka. Apalagi jika
orangtua memfasilitasi mereka dengan gawai berinternet; gambar pornografi dapat
dengan mudah dilihat oleh anak-anak kita. Seringnya anak terpapar pornografi
tentu memberikan dampak negatif.
Kondisi ini memang menjadi
keprihatinan dan tugas kita bersama. Di rumah, tumbuhkan komunikasi, peran dan
sosok orangtua. Dekatkan mereka dengan agama. Di lingkungan, peran RT/RW
penting untuk memantau adakah tempat-tempat yang berpotensi membawa keburukan;
tempat kumpul yang mencurigakan dan warnet yang sering didatangi anak sekolah.
Tak kalah penting, peran sekolah untuk memantau perkembangan murid-muridnya dan
lakukan pendekatan jika ada anak yang berbicara atau bertindak kasar kepada
teman-temannya.
Jangan biarkan anak-anak kita
berkembang tanpa cinta dan iman di dalam dirinya. (APR)
Tulisan ini juga pernah dimuat di Ahadtimes.com.
No comments:
Post a Comment