Apa yang Harus Dilakukan Ilmuwan Indonesia untuk Menulis Jurnal Internasional?

/ /


Ilmuwan Indonesia masih harus lebih bersemangat dalam menulis jurnal internasional. Meskipun mengalami peningkatan dari 2015, namun yang terindeks Scopus, jumlahnya baru berkisar 9.012 jurnal. Untuk itu, Kemenristekdikti bekerjasama dengan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional mengundang ilmuwan diaspora Indonesia yang telah berkarya dan memiliki reputasi internasional untuk berbagi ilmu dengan akademisi di Indonesia dalam program #VisitingWorldClassProfessor pada Desember 2016. 

Menurut Prof. Gindo Tampubolon dari University of Manchester, jika Indonesia ingin maju, harus banyak menulis untuk jurnal internasional. “Tokoh periklanan David Ogilvy pernah mengatakan, hire somebody more clever than you, you will end up a company of giant, if you hire somebody less clever than you because of your insecurity, you will end up a company of minions. Kalau hanya menulis untuk jurnal Indonesia, lama-lama Indonesia akan terlihat makin kecil.”

Meskipun ia mengakui, menulis jurnal bukanlah pekerjaan ringan. Banyak jurnal dari Indonesia yang ditolak karena beberapa faktor.  

Apa saja kelemahan jurnal dari ilmuwan Indonesia sehingga sulit menembus jurnal internasional? 
Prof. Etin Anwar, pengajar di salah satu universitas di Amerika mengatakan, selama menjadi reviewer, ia melihat beberapa kekurangan pada jurnal yang ditulis ilmuwan Indonesia. Misalnya, dari segi kedalaman dan resources yang terlalu sederhana. Padahal, menurutnya, banyak topik yang dapat diangkat dari Indonesia.  

Sementara Prof. Siti Kusujiarti mengkritisi ide yang kerap tidak jelas. “Idenya kurang jelas, terselip di mana-mana. Ide utama kadang diletakkan di paling bawah. Kita harus berani menyatakan bahwa ini adalah ide utama dalam jurnal ini. Harus berani mengatakan penelitian ini berbeda dari penelitian sebelumnya karena a, b,c dan sebagainya. Jadi harus ada kebaruan atau sumbangan yang akan diberikan dalam penelitian tersebut.”

Ia pun bercerita tentang pengalamannya selama mengajar di Amerika. Meskipun kampus kecil, namun penelitian dan publikasi tetap harus dilakukan. Mereka pun harus mendapat persetujuan dari Institutional Review Board.  “Mereka akan melihat etika penelitian yang kita lakukan.”

Menurutnya, etika penelitian penting, terutama jika berkaitan dengan manusia. “Jika subjek penelitian adalah anak di bawah 18 tahun, maka kita harus mendapat persetujuan dari orangtuanya. Jika dirasa membahayakan, kerahasiaan identitas mereka juga penting untuk dijaga.” 

Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Vedi Hadiz dari University of Melbourne. Sebagai reviewer, ia mencatat beberapa kekurangan dalam jurnal yang ditulis peneliti Indonesia. Pertama, argument yang tidak jelas. Terlalu panjang di bagian latar belakang masalah padahal seharusnya pada halaman pertama, argumentasi dan permasalahan sudah harus dikemukakan. Kedua, literature review yang seringkali hanya sekadar memenuhi jumlah halaman. Padahal seharusnya, literature review digunakan untuk melihat pada posisi apa pandangan atau pendapat kita terhadap literatur tersebut. Ketiga, sumbangsih atau kebaruan. 

Selain itu, Prof. Vedi juga mengkritisi kondisi dosen di Indonesia. Kebutuhan dosen harus dipenuhi dengan baik, terutama yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan urusan birokrasi. Dengan begitu, dosen lebih fokus untuk meneliti. Ia juga menyarankan kepada Kemristekdikti untuk menyelenggarakan pelatif intensif untuk para dosen dalam menulis jurnal internasional.  

Semoga, ya. Saya pun berharap agar Kemenristekdikti juga memerhatikan para dosen tidak tetap yang punya semangat untuk meneliti. (APR) 

No comments:

Post a Comment