Agar Anak Mau Bicara

/ /
Tulisan ini pernah dimuat di Nakita Online, 28 April 2016

http://www.tabloid-nakita.com/read/6993/cara-agar-anak-mau-bicara


            Ibu Vina panik. Ia menemukan memar di punggung Dimas, putranya yang berusia 7 tahun. Sudah sejak usia 5 tahun, Dimas memang mandi sendiri sehingga Ibu Vina tidak mengetahui memar tersebut. Setelah bertanya dan dibujuk-bujuk, baru diketahui, ternyata Dimas dipukul oleh temannya dua hari lalu. Hmm, kenapa ya, Dimas tidak mau menceritakan hal tersebut? Ibu Vina juga merasa Dimas tidak banyak bercerita tentang aktivitasnya di sekolah? Bagaimana ya supaya anak mau berbicara?



              Apa yang dirasakan oleh Ibu Vina boleh jadi dirasakan juga oleh ibu lain. Tak sedikit orangtua yang merasa kesulitan untuk mengajak anaknya bicara atau sekadar mengobrol. Untuk mengajak anak berbicara, sebetulnya tergantung bagaimana respon orangtua ketika anak mengajak bicara. Apakah orangtua dengan penuh kesungguhan mau mendengarkan atau hanya sekadar menimpali tanpa terlihat bersemangat untuk mendengarkan?
            Dalam ilmu komunikasi, antusiasme orangtua untuk mendengarkan cerita anak dapat terlihat dari nada bicara, mata dan wajah yang bersemangat? Jika orangtua sedang melakukan sesuatu, tinggalkan terlebih dulu, dan mulailah mendengarkan. Tubss dan Moss dalam Human Communication menjelaskan bahwa mendengarkan sesungguhnya melibatkan empat unsur: (1) mendengar, (2) memerhatikan, (3) memahami, dan (4) mengingat (Tubss dan Moss dalam Human Communication).
            Ketika orangtua berkomunikasi dengan anak, dengarkanlah dengan empati. Stephen Covey dalam bukunya “The 7 Habits of Highly People” (1990) mengatakan bahwa kebanyakan orang mendengarkan tidak dengan maksud untuk memahami namun bertujuan untuk memberikan jawaban.  Maka, ketika anak sedang mencurahkan isi hatinya, mengungkapkan kekesalannya, cobalah untuk mendengarkannya.
           
            Pada kasus yang dialami Ibu Vina, terdapat beberapa kemungkinan. Bisa jadi, anak merasa enggan bercerita karena selama ini, ketika ia mau bercerita, respon dari orangtua kurang baik. Bisa juga, anak merasa, kondisi tersebut bukan sesuatu yang perlu diceritakan. Jika alasannya karena faktor kedua, orangtua perlu membekali anak, apa saja hal-hal yang penting atau perlu diceritakan kepada orangtua. Beri gambaran mana hal-hal yang penting diceritakan, boleh diceritakan dan boleh tidak.
            Hal-hal yang penting untuk diceritakan misalkan, anak merasa tidak enak badan, ada teman yang sering menjahili, ada orang asing yang ditemui dan menanyakan sesuatu, dan sebagainya. Untuk hal-hal yang boleh diceritakan dan boleh juga tidak, misalnya, obrolan dengan teman.
            Jika orangtua menemui seringnya menyembunyikan sesuatu kondisi yang penting, sebaiknya lakukan komunikasi dengan anak. Apa yang menyebabkan anak tidak menceritakan hal tersebut kepada orangtua. Lakukan pula introspeksi diri; apakah selama ini kita sudah berusaha mendengarkan keluh kesah anak? Ataukah sekadar mendengar namun tetap aktif dengan gadget kita?
            Untuk mengajak anak agar mau terbuka, selain mau mendengarkan dengan baik dan penuh empati, kita juga perlu cara yang tepat untuk menggali sesuatu. Cobalah dengan pertanyaan terbuka seperti,   “Kak, menurut Kakak, teman yang menyenangkan itu yang seperti apa sih?” Dari satu pertanyaan tersebut dapat berkembang lagi sehingga tercipta komunikasi dua arah.

             Salam hangat, 
             Aprilina Prastari
             Pemerhati Komunikasi Keluarga



No comments:

Post a Comment